DUTA KALIGRAFI INTERNASIONAL: DUTA KALIGRAFI INTERNASIONAL

BELAJAR KALIGRAFI DARI PEDAGANG JALANAN.

Laporan Ramadan dari Belanda (4-Habis)

Belajar Kaligrafi dari Pedagang Jalanan

Berkat keahlian membuat kaligrafi, Ustad Ali Mahfud

menginjakkan kakinya di Belanda. Ia dipercayai mengukir seni tulisan

Arab itu di dinding Majid Al Hikmah, Den Haag. Berikut laporan

Yon Daryono, wartawan Tribun Batam, dari Den Haag, Belanda.

ALI menceritakan, pada awalnya

ia tidak punya bayangan

bagaimana setting masjid yang

akan dihiasi kaligrafinya. Bahkan

saat awal tiba di Masjid Al

Hikmah, dia pun harus berpikir

keras, karena tekstur dinding

bangunan masjid di Belanda

tidak seperti di Indonesia yang

rata rata sudah halus diplester.

“Semua dinding seperti gedung-

gedung di Belanda yang

hanya terbuat dari bata merah

yang belum diplester. Permukaanya

kasar dan cukup menyulitkan.

Inilah tantangan pertama

saya, selain suhu udara yang

dingin di akhir musim winter.

Saya kerjakan kaligrafinya siang

malam, dan alhamdulillah selesai

sebulan lamanya,” tutur Ali.

Ketika ditanya darimana Ali

mendapatkan keahlian sebagai

seniman kaligrafi? Sesaat Ali

menerawang akan perjalanan

hidupnya selama ini. “Saya lahir

di Karimun Jawa yang cukup

terpencil. Saya sekolah hingga SD

di sana. Kemudian melanjutkan

Madrasah Tsnawaiyah hingga

SMA di Kudus dan Jepara. Kemudian

sempat merantau ke

Jakarta menjadi tukang becak.

Saat itu timbul keinginan saya

untuk melanjutkan kuliah dan

alhamdulillah setelah dua tahun,

saya diterima di jurusan Syariah

IAIN Syarif Hidayattullah Jakarta,”

ungkapnya.

Dengan ekonomi yang paspasan

saat itu, Ali mengaku

berpikir bagaimana supaya

kuliahnya tidak putus di tengah

jalan. Maka ia pun mulai mencari

pekerjaan sampingan usai

kuliah. “Pada suatu hari, usai

shalat Jumat di sebuah masjid

di Jakarta, saya melihat banyak

orang berkerumun. Saya tertarik

dan ternyata saat itu ada

seorang kaligrafer asal Padang

yang tengah membikin pesanan

para jamaah yang pulang dari

masjid. Saya akhirnya beli satu

seharga Rp 3 ribu. Saya pelajari

cara dia membikin kaligrafi

tersebut dan alhamdulillah bisa

sama hasilnya,” tuturnya.

Setelah itu, Ali kemudian

mencoba mencari peruntungan

dengan membuka lapak sendiri

di tempat lain dengan membikin

kaligrafi pesanan. “Dalam satu

hari saya bisa mendapatkan Rp

15 ribu. Uang tersebut sangat

besar bagi ukuran mahasiswa

seperti saya saat itu. Hingga pada

suatu hari ada orang yang meminta

saya untuk membikin kaligrafi

di sebuah masjid di Jakarta.

Mulailah dari situ saya sering

diminta untuk membikin kaligrafi

masjid,” ujar Ali.(yon daryono)

KELILING DUNIA BERKAT KALIGRAFI

/ Home / Community / Manca Negara /

Keliling Dunia Berkat Kaligrafi

Sabtu, 12 September 2009 | 22:57 WIB

RAHASIA Ilahi terhadap nasib umat tidak pernah ada yang tahu. Manusia hanya akan tahu jawabannya setelah melewatinya. Demikian halnya yang dirasakan seorang kaligrafer asal Indonesia yang karya-karyanya telah tersebar di sejumlah negara, seperti di Brunei Darussalam, Singapura, hingga terakhir di Belanda.

Ustad Ali Mahfud, pria yang dilahirkan di Kepulauan Karimun Jawa 42 silam, membuktikan sendiri rahasia Ilahi itu. Ia tidak menyangka akan menginjakkan kakinya di Benua Eropa dengan keahliannya di bidang seni kaligrafi.

Selama Ramadan ini, Ali bahkan diundang langsung dari Indonesia oleh pihak KBRI Den Haag, untuk menjadi imam Tarawih sekaligus penceramah di Masjid Al Hikmah.
Kedatangannya yang pertama ke Belanda pada periode Februari-Maret lalu. Saat itu Ali khusus didatangkan untuk menghias dinding Masjid Al Hikmah dengan kaligrafi.
Pria yang pernah menjadi warga Tanjunguncang dan Mukakuning, Batam, ini terpilih menjadi kaligrafer yang dipercaya untuk menghias dinding Masjid Al Hikmah Den Haag. "Ini semua terjadi atas seizin Allah Swt. Saya telah mengalami banyak ujian untuk bisa seperti sekarang," ungkap alumnus S2 dari Studi Islam Universitas Muhamadiyah Jakarta tahun 2005 tersebut.

"Awal mulanya ada SMS yang masuk ke ponsel saya pada bulan November tahun lalu. Intinya saya diminta untuk memberikan contoh karya kaligrafi saya oleh seseorang yang tidak saya kenal. Kemudian orang tersebut menyampaikan bahwa saya diseleksi untuk membikin kaligrafi di Belanda. Saya sempat berpikir mungkin itu SMS main-main. Namun saya tetap khusnuzon saja, dan saya jawab insya Allah," kenangnya.

Setelah melewati masa seleksi, Ali-lah yang akhirnya terpilih untuk membikin kaligrafi di masjid Indonesia terbesar di Belanda tersebut. "Saya baru tahu bahwa ternyata SMS itu tidak main-main dan saya diminta langsung oleh KBRI di Belanda untuk mempersiapkan segala urusan seperti paspor dan sebagainya," ujar Ali.

Ali menceritakan, pada awalnya ia tidak punya bayangan bagaimana setting masjid yang akan dihiasi kaligrafinya. Bahkan saat awal tiba di Masjid Al Hikmah, ia pun harus berpikir keras karena tekstur dinding bangunan masjid di Belanda tidak seperti di Indonesia yang rata-rata sudah halus diplester.

"Semua dinding seperti gedung-gedung di Belanda yang hanya terbuat dari bata merah yang belum diplester. Permukaanya kasar dan cukup menyulitkan. Inilah tantangan pertama saya, selain suhu udara yang dingin di akhir winter. Saya kerjakan kaligrafinya siang malam, dan alhamdulillah selesai sebulan lamanya," tutur Ali.

Ketika ditanya dari mana Ali memperoleh keahlian sebagai seniman kaligrafi, sesaat Ali menerawang akan perjalanan hidupnya selama ini. "Saya lahir di Karimun Jawa yang cukup terpencil. Saya sekolah hingga SD di sana. Kemudian melanjutkan Madrasah Tsanawiyah hingga SMA di Kudus dan Jepara. Kemudian sempat merantau ke Jakarta menjadi tukang becak. Saat itulah timbul keinginan saya untuk melanjutkan kuliah dan alhamdulillah setelah dua tahun, saya diterima di Jurusan Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta," ungkapnya.

Dengan ekonomi yang pas-pasan saat itu, Ali mengaku berpikir bagaimana supaya kuliahnya tidak putus di tengah jalan. Maka ia pun mulai mencari pekerjaan sampingan seusai kuliah.

"Pada suatu hari, seusai salat Jumat di sebuah masjid di Jakarta, saya melihat banyak orang berkerumun. Saya tertarik dan ternyata saat itu ada seorang kaligrafer asal Padang yang tengah membikin pesanan jemaah yang pulang dari masjid. Saya akhirnya beli satu seharga Rp 3 ribu. Saya pelajari cara dia membikin kaligrafi tersebut dan alhamdulillah bisa sama hasilnya," tuturnya.

Setelah itu, Ali mencoba mencari peruntungan dengan membuka lapak sendiri di tempat lain dengan membikin kaligrafi pesanan. "Hingga pada suatu hari ada orang yang meminta saya untuk membikin kaligrafi di sebuah masjid di Jakarta. Mulailah dari situ saya sering diminta untuk membikin kaligrafi masjid," ujar Ali.

Semakin banyak karya Ali di sejumlah masjid di Jakarta ternyata membawa nasib baik baginya. Ia sempat menjadi juara lomba kaligrafi di Batam, dan diminta seorang kerabat Sultan di Brunei Darussalam untuk membuat kaligrafi di sana. Termasuk sejumlah masjid di Singapura, Malaysia, dan terakhir di Masjid Al Hikmah Den Haag, Belanda.

"Saya percaya dengan ketekunan dan keahlian yang kita miliki, kita akan berhasil di bidang tersebut. Semua itu perlu proses dan doa kita tentu saja. Insya Allah dengan keikhlasan, semuanya tidak akan sia-sia dan berguna bagi orang lain dan diri kita sendiri," tutupnya. (Yon Daryono)